WhatsApp Bermasalah Lagi, Telegram Semakin Populer tapi Utangnya Membengkak

1 min


131
WhatsApp Bermasalah Lagi, Telegram Semakin Populer tapi Utangnya Membengkak

Jakarta, Beritasatu.com – Aplikasi pesan digital Telegram menantang WhatsApp yang dimiliki oleh Facebook. Tahun ini, Telegram berhasil menambah puluhan juta pelanggan baru. Namun, seiring dengan ekspansi, utang Telegram juga membengkak.
Aplikasi pesan seperti Telegram dan Signal mulai naik daun sejak WhatsApp melakukan blunder terkait pengumuman syarat dan ketentuan baru pada 7 Januari 2021 lalu. Setelah pengumuman kebijakan baru WhatsApp, pengguna Telegram bertambah 25 juta per minggu ketiga Januari dan Signal bertambah 7,5 juta.
Saat ini, Telegram memiliki sekitar 550 juta pengguna aktif dan diperkirakan menjadi 1 miliar pengguna pada akhir 2022. Juru bicara Telegram mengatakan pertumbuhan pengguna secara rata-rata di atas 40% per tahun.

Untuk mempertahankan operasional, pendiri Telegram Pavel Durov, mengatakan diperlukan biaya ratusan juta dolar untuk membayar peralatan dan bandwidth. Menurut data yang diperoleh Wall Street Journal, Telegram memiliki utang sebesar US$ 700 juta (Rp 10 triliun) yang jatuh StikerWA di akhir April, sementara perusahaan belum menghasilkan pendapatan yang meyakinkan.
Telegram akan mengeluarkan surat utang sebesar US$ 1 miliar hingga US$ 1,5 miliar untuk mendanai oeprasional perusahaan. Durov menjanjikan investor akan mendapatkan saham dengan harga menarik (diskon) jika perusahaan go public. Durov juga mengatakan akan mulai menjual iklan di dalam Telegram dan jasa premium untuk bisnis dalam rangka meningkatkan pendapatan.
Aplikasi pemesanan semakin populer dan sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Namun, belum ada model bisnis yang pasti. WhatsApp belum memiliki pendapatan yang signifikan, padahal aplikasi ini yang paling populer. Signal mengandalkan donasi. Aplikasi Discord mencatat pendapatan US$ 130 juta tahun lalu dengan menjual layanan premium, tetapi mereka masih rugi.

Tantangan yang dihadapi Telegram saat ini adalah meyakinkan calon pengiklan bahwa platform mereka tidak menjadi tempat berkumpulnya kelompok-kelompok rasis sayap kanan, bandar narkoba dan senjata ilegal, hingga kelompok teroris.
Ketika meluncurkan Telegram pada 2013 lalu, Durov mengatakan bahwa Telegram adalah tempat di mana orang-orang bisa saling bertukar pesan, aman dari pengawasan dan sensor pemerintah. Durov bersikukuh pihaknya tidak akan tunduk pada sensor pemerintah, tetapi belakangan Telegram mulai mengawasi channel-channel publik yang mencurigakan dan menghapus channel-channel propaganda teroris.
Sumber: WSJ, Guardian


Like it? Share with your friends!

131

What's Your Reaction?

Marah Marah
0
Marah
Suka Suka
0
Suka
Kaget Kaget
0
Kaget
Muntah Muntah
0
Muntah
Sedih Sedih
0
Sedih
Ketawa Ketawa
0
Ketawa
Cinta Cinta
0
Cinta
Ngakak Ngakak
0
Ngakak