Jakarta: Mark Zuckerberg, bos Facebook, mengundang sembilan pemuka hak-hak sipil makan malam di rumahnya pada November 2019. Kesembilan aktivis hak-hak sipil itu memperingatkan Zuckerberg akan bahaya hoaks terkait dengan Pemilu Presiden Amerika Serikat yang tersebar di Facebook tanpa melalui verifikasi. Para pemimpin lembaga hak-hak sipil itu juga bertemu dengan CEO Twitter Jack Dorsey.
Pemuka hak-hak sipil itu kiranya mendapat amunisi dari penelitian Laura Quinn untuk memperingatkan Zuckerberg. Quinn, pendiri lembaga kontradisinformasi Catalist, dalam penelitiannya merekomendasikan solusi melawan disinformasi bukan dengan menyerangnya, melainkan memaksa platform menghapus dan melarang konten disinformatif itu.
“Ketika Anda diserang, naluri Anda ialah menolak dengan berkata, ‘Itu tidak benar’, tetapi jika Anda melakukan itu, platform mendorongnya dan algoritma membacanya sebagai, ‘Oh, ini populer, orang menginginkannya lagi’,” papar Quinn seperti dikutip Time edisi 15-22 Februari 2021. “Platform-platform punya kebijakan melawan perilaku fitnah, tetapi mereka perlu dipaksa.”
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
Happy
Inspire
Confuse
Sad
Penelitian Quinn kiranya juga memberi amunisi kepada platform media sosial untuk mengambil posisi lebih keras. Di seputar Pilpres AS 2020, Facebook dan Twitter, misalnya, memblokir akun Donald Trump sampai Presiden Amerika itu selesai menjabat. Trump dikenal gemar menyampaikan disinformasi melalui media sosial. Kemenangan Trump atas Hillary Clinton pada Pilpres AS 2016 tak terlepas dari disinformasi yang dia tebar di media sosial.
Indonesia lebih dulu melakukan hal yang kurang lebih serupa dengan yang dilakukan para pemuka hak-hak sipil di Amerika. Pada 2017, Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara mengundang Pavel Durof, CEO platform digital Telegram. Rudiantara meminta Telegram melakukan swasensor atas konten-konten berbau radikalisme dan terorisme. Rudiantara juga melayangkan protes terkait dengan konten negatif kepada Google, Facebook, dan Twitter.
Media-media di Indonesia melakukan mekanisme cek fakta atas hoaks, disinformasi, misinformasi, dan sejenisnya. Google melalui Google News Initiatives mendukungnya dengan memberi dana kepada media-media untuk mengembangkan mekanisme cek fakta.
(Baca: 1.090 Hoaks Beredar selama Pandemi Covid-19, Orang Dewasa Biang Keroknya)
Mekanisme cek fakta kiranya serangan terhadap disinformasi dalam istilah Quinn. Meski sudah membaca satu konten ternyata disinformasi melalui mekanisme cek fakta, kita cenderung mencari disinformasi tersebut. Disinformasi itu jadi makin populer.
Masyarakat telanjur memercayai disinformasi itu sekalipun sudah dilakukan cek fakta terhadapnya. Apalagi, platform digital sering kali tak segera menghapus konten-konten disinformatif itu sehingga masyarakat masih bisa mengaksesnya dan boleh jadi memercayainya.
Saya, misalnya, masih sempat melihat wawancara podcast dr Lois Owien di Facebook bahkan setelah polisi menangkapnya. Lois dalam wawancara itu mengatakan antara lain covid-19 tidak ada sehingga kita tidak perlu memakai masker dan banyaknya penderita covid-19 meninggal dunia karena interaksi obat. Pernyataan Lois dianggap hoaks yang dapat menghambat upaya penanggulangan dan pencegahan covid-19.
Komisi I DPR merekomendasi pembukaan kanal untuk klarifikasi hoaks, selain literasi digital kepada masyarakat (Media Indonesia, 23 Juli 2021). DPR kiranya merekomendasi serangan dalam istilah Quinn terhadap hoaks dan menurut Quinn cara itu justru membuat hoaks makin populer.
Kementerian Komunikasi dan Informatika merilis data terdapat 1.763 hoaks covid-19 yang tersebar melalui 3.817 unggahan di media sosial. Menkominfo Johnny G Plate mengatakan dirinya telah bertemu dengan eksekutif media digital. Menkominfo meminta mereka lebih proaktif menghapus hoaks covid-19. Menkominfo juga meminta mereka proaktif mengamplifikasi informasi mendukung pencegahan dan penanggulangan covid-19. Sebagian besar hoaks itu sudah dihapus. Menkominfo melakukan apa yang direkomendasi Quinn, ‘memaksa’ platform digital menghapus dan melarang disinformasi.
Kita menuntut Facebook, Instagram, Twitter, Instagram, Youtube, Tiktok, dan lain-lain bertanggung jawab melarang dan menghapus disinformasi dan sejenisnya dari platform mereka. Kita bahkan menuntut platform-platform digital itu memblokir akun-akun yang doyan menebar hoaks dan sejenisnya serupa yang mereka lakukan terhadap akun Donald Trump.