Netizen | The Holle Line

3 min


80
Netizen, The Holle Line, The Holle Line,Pemikiran,Politik,Sunda,Karel Frederick Holle

Pemikiran politik Sunda sampai saat ini masih abstrak. Terbukti dari Webinar yang diadakan oleh FISIP UIN Bandung (23 Juni 2021) tentang hal itu, belum ada rumusan yang bisa diambil.

Pembicaraan masih berputar pada soal bahasa dan budaya sehingga bahasan pokoknya, yaitu politik, tidak terbahas mendalam. Tidak ada juga pemikiran politisi Sunda yang dibedah dan didiskusikan.

Namun, penulis menghargai penyelenggara yang berani mengambil tema berat tersebut. Tema ini masih jarang disentuh. Oleh karena itu, setiap upaya untuk mengangkatnya, perlu diapresiasi. Terlebih lagi tema tersebut akan menjadi mata kuliah di program Studi Ilmu Politik. Satu garapan yang menantang.

Salah satu kendala untuk merumuskan pemikiran politik orang Sunda itu adalah titik berangkat. Pamiangan. Dari mana seharusnya pembentukan pemikiran lalu polarisasinya dapat dijejaki?

Penulis ingin menawarkan satu titik berangkat untuk mulai mencari bagaimana pemikiran politik Sunda terbentuk. Kilometer nol itu sebut saja The Holle Line. Garis kebijakan politik yang ditetapkan oleh Karel Frederick Holle (1829-1896).

Pengaruh besar Holle tampak dari jabatan kehormatan yang diperolehnya sebagai penasehat pemerintah urusan pribumi. Juga bisa ditemukan dalam sejarah perkembangan bahasa Sunda, sebagaimana diungkapkan dalam penelitian Mikihiro Moriyama.

Soal garis pemisah ini, saya terinspirasi dari para pemikir Jawa mutakhir yang menjadikan Perang Jawa (1825-1830) sebagai garis pemisah antara Jawa dan kolonialisme. Siapa memihak kepentingan pribumi dan siapa memihak kepentingan kolonial, menjadi jelas terpetakan.

Bagaimana di Sunda? Menurut Moriyama (2001), “Dia (Holle, pen) selamanya bersikeras bahwa elemen-elemen Islam agar dijauhkan dari pendidikan pemerintah di wilayah Sunda.”

Seraya membantu bahasa Sunda untuk bangkit dengan semangat baru, Holle sebenarnya ingin menggantikan huruf Arab yang saat itu lazim digunakan, dengan huruf latin. Kebijakan itu diambil Holle, menurut Karel A Steenbrink (1995), “ … karena penyebaran lebih jauh bahasa Arab hanya akan memperkuat pengaruh orang-orang yang fanatik agama.”

Huruf Arab saat itu digunakan secara umum oleh masyarakat Sunda. Hal ini menandakan luas dan meratanya pengaruh Islam di Tatar Sunda. Tak bisa dimungkiri inilah pengaruh dari pendudukan Kerajaan Islam Mataram selama hampir dua abad. Dari sejumlah naskah yang ditemukan oleh filolog A Ginanjar Sya’ban, bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa yang menggunakan huruf pegon. Bisa dipahami karena pusat-pusat Islam telah beralih ke Jawa bagian tengah dan timur. Bahasa Sunda belum menjadi bahasa ilmiah.

Di kalangan para menak Sunda di lingkungan pendopo kabupaten, bahasa pengantar telah berganti bahasa Jawa, baik lisan maupun tulisan dalam aksara Jawa. Yang bercakap dalam bahasa Sunda dicemooh sebagai orang dusun. Di komunitas pesantren, bahasa Jawa yang ditulis dalam huruf Arab menjadi kelaziman, sekalipun komunikasi secara umum tetap menggunakan bahasa Sunda.

Cara Halus

Menurut riset Aqib Suminto (1985), Holle menghadapi kekuatan Islam di tatar Sunda dengan cara halus, yaitu dengan menyalurkan semangat mereka ke arah yang menjauhi agamanya (Islam) melalui asosiasi kebudayaan. Kebijakan Holle ini memisahkan kelompok Islam ke dalam dua golongan, yang mengikuti kebijakannya dan yang dibiarkan di luar gelanggang.

Dalam interpretasi bebas dapat disebutkan bahwa Holle yang didukung Snouck Hurgronje, menetapkan kebijakan kepada kelompok Islam, khususnya pesantren, di Tatar Sunda: ulah diganggu tapi ulah diajakan. Tidak diganggu, termasuk dengan membatasi proses kristenisasi di Jawa Barat, tetapi pada saat yang sama, tidak dilibatkan dalam kebijakan baru yang ditetapkan pemerintah.

Selama ini, kajian para akademisi, mengarah kepada kelompok Islam yang dilibatkan dalam kebijakan pemerintah seperti Moehamad Moesa dan Hasan Mustapa. Merekalah yang oleh Muhammad Iskandar digolongkan sebagai menak kaum. Sementara kelompok Islam di luar itu, masih terabaikan. Karena itulah garis pemisah yang ditetapkan oleh Holle ini menjadi penting dalam memulai kajian pemikiran politik orang Sunda. Pemikiran politik ulama yang ikut kebijakan Holle, tentu akan berbeda dengan pemikiran para ajengan yang dipinggirkan.

Selain membuat proyek “pemurnian” bahasa Sunda yang disambut baik para menak kaum, Holle juga merintis perkebunan Waspada di Cikajang. Upaya ini kemudian diikuti para pengusaha lain yang melahirkan perkebunan dan pabrik di seluruh Priangan. Perkebunan dan pabrik ini ikut memapankan para menak paseban, priyayi yang hidup di seputar kantor kabupaten.. Dalam ungkapan Pramoedya Ananta Toer (2002), “Priyayi itulah yang menjalankan penjajahan untuk Belanda.” Lalu dilanjutkan dengan pendirian sekolah-sekolah yang kelak melahirkan kelompok menengah baru yang puncaknya melahirkan Paguyuban Pasundan.

Dengan demikian, kebijakan Holle itu menjadi akar polarisasi pemikiran politik orang Sunda: menak kaum, menak paseban, kelas menegah baru, dan kelompok Islam yang dipinggirkan.

Dari alur itu, konsep santri-priyayi-abangan dari Geertz, tidak mudah diterapkan di Sunda. Santri terbagi menjadi menak kaum dan kelompok yang terpinggirkan. Priyayi menjadi gabungan antara menak kaum, menak paseban dan kelas menengah baru. Lalu siapakah yang pantas disebut abangan di Sunda?

Peran Kampus Islam

Para pendukung kebijakan Holle sudah mendapatkan pehatian melimpah dari para peneliti, baik dalam maupun luar negeri. Kajian atas Moesa dan Hasan Mustapa, misalnya, sudah melahirkan banyak doktor. Begitu juga kajian atas para menak dan aktivis Pasundan, sudah ditelaah banyak sarjana.

Kampus Islam seperti UIN Bandung, perlu memberi perhatian kepada kelompok yang sejak awal dipinggirkan oleh kebijakan Holle itu. Mereka yang tidak menjadi menak kaum, tidak bekerja di perkebunan dan pabrik, serta tidak mengenyam pendidikan sekolah yang didirikan pemerintah. Mereka yang bertahan di pesantren-pesantren sejak kebijakan Holle diterapkan. Siapakah mereka, pesantren mana saja, penganut tarekat apa, seberapa besar jumlahnya, bagaimana penyebarannya hingga sekarang? Itulah di antara pertanyaan yang perlu mendapatkan jawaban.

Kampus-kampus Islam punya kewajiban moral untuk mengurai sejumlah pertanyaan itu. Dan terkait tema pemikiran politik Sunda, mereka harus bisa mengetengahkan pemikiran kelompok Islam yang terpinggirkan dari kebijakan Holle itu. [*]


Like it? Share with your friends!

80

What's Your Reaction?

Marah Marah
0
Marah
Suka Suka
0
Suka
Kaget Kaget
0
Kaget
Muntah Muntah
0
Muntah
Sedih Sedih
0
Sedih
Ketawa Ketawa
0
Ketawa
Cinta Cinta
0
Cinta
Ngakak Ngakak
0
Ngakak